Senin, 09 April 2012

Bantuan Langsung Tunai

MASALAH EKONOMI














NAMA        : ARIEF WIDYA BRAHMA PUTRA
NPM            : 11110063
KELAS       : 2KA04
1.      Pendahuluan
            Kemiskinan telah hadir dalam realitas kehidupan manusia dengan bentuk dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan telah menjadi sebuah persoalan yang tidak bisa disepelekan di kehidupan manusia. Sebagai sebuah persoalan kehidupan manusia yang tidak mudah ditangani, maka kemiskinan telah hadir juga dalam berbagai analisis dan kajian yang dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai wujud nyata dari upaya memberi jawaban kepada persoalan kemiskinan. Bahkan tidak hanya sebatas itu, kemiskinan juga telah hadir dalam sejumlah kebijakan baik oleh elemen-elemen sosial masyarakat maupun pemerintah dalam menunjukkan kepedulian bersama untuk menangani persoalan kemiskinan ini. Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi ini.
            Salah satu upaya kepedulian itu adalah Bantuan Langsung Tunai atau disingkat BLT adalah bantuan langsung berwujud uang tunai yang diberikan oleh pemerintah kepada masyrakat yang berada dibawah rata-rata garis kemiskinan. BLT ini sesungguhnya sangatlah penting untuk membantu pemerintah menaikkan kesejahteraan rakyat, namun sangat disayangkan pengoperasiannya jauh dari yang diharapkan. Namun hingga saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang belum mendapat BLT dari pemerintah. Salah satu masalahnya karena dana yang tidak mencukupi untuk menutupi banyaknya masyrakat Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan, membuat pelaksanaan BLT menjadi hampir tidak mungkin untuk diberikan secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia yang membutuhkan.
            Dari pelaksanaan pembagian BLT sendiri hingga saat ini pelaksanaannya masih belum dapat berjalan dengan lancar, malah terkadang menimbulkan masalah pada saat BLT ini dibagikan. Masyrakat Indonesia sendiri kurang mengerti dan memahami hukum yang membuat mereka kurang peduli tentang kedisplinan yang sangat penting dalam berjalannya suatu operasi, menjadikan suatu kondisi yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Walaupun tidak terjadi di semua tempat pemgian BLT dilaksanakan, setidaknya beberapa daerah terlibat dalam kericuhan pada saat pembagian BLT berjalan. Tidaklah sedikit korban terinjak-injak saat pembagian BLT berjalan, juga pengambilan hak BLT orang lain yang juga menyebabkan salahsatu pemicu rusuh saat pembagian BLT. Walaupun seharusnya hal seperti ini bisa diatasi pemerintah, namun tanpa adanya kerjasama dari masyarakat sendiri kelancaran pembagian BLT sendiri susah untuk dicapai.

2.      Masalah

Masalah-masalah yang diahadapi program BLT ini adalah :

·         Ketidakjujuran masyarakat saat pendataan rakyat miskin berjalan, sangat banyak masyarakat dengan kondisi ekonomi yang cukup mengaku sebagai keluarga miskin. Hal ini membuat pelaksanaan BLT sangat sulit untuk mencapai kata optimal.

·         BLT diharapkan mengurangi jumlah angka kemiskinan di Indonesia. Namun kebenaran BLT ini adalah salah satu solusi yang dapat menurunkan jumlah angka kemiskinan di Indonesia belum dapat ditemukan sepenuhnya.

·         Dengan pemberian BLT diharapkan dapat membantu perekonomian masyarakat yang kurang mampu, namun nyatanya tidak membuahkan perubahan baik.


3.      Landasan Teori

Pada tahun 2005, Pemerintah meluncurkan Program Kompensasi Penghapusan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) untuk membantu kalangan tidak mampu menghadapi laju inflasi saat itu yang sangat tinggi akibat dinaikkannya harga BBM hingga 126%. Program ini dibagi dalam 2(dua) tahapan , yaitu :
Pertama : PKPS BBM Tahap I, merupakan program kompensasi di bidang pendidikan, melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM); bidang Kesehatan, diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan melalui sistem jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, yang meliputi layanan kesehatan dasar, layanan kesehatan rujukan dan pelayanan penunjang lainnya; serta bidang infrastruktur pedesaan, diarahkan pada penyediaan infrastruktur di desa-desa tertinggal (jalan, jembatan, air bersih, sanitasi, tambatan perahu, irigasi desa sederhana dan penyediaan listrik bagi daerah yang betul-betul memerlukan).

Kedua : PKPS BBM Tahap II : Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional cash transfer) sebesar Rp100.000/bulan selama 1(satu) tahun, dan setiap tahap diberikan Rp300.000/3 bulan.

Program BLT dilaksanakan pada bulan September 2005, dan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan program tersebut, Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin. Sasaran program BLT ini adalah rumah tangga sasaran yang didata oleh BPS sejumlah 19.1 juta, dengan DIPA Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan.

Selain itu pada tahun 2006, diperkenalkan Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan bagian program percepatan penanggulangan kemiskinan melalui penyaluran bantuan tunai bersyarat atau Conditional Cash Transfers (CCT) kepada 620.000 rumah tangga sangat miskin. Program ini merupakan upaya membangun sistem jaminan sosial bagi rakyat miskin, sekaligus membangun sumber daya manusia melalui akses yang lebih besar ke pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur. Program ini dibawah pengawasan Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial, Ditjen Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) Depsos.

Sebagaimana BLT, bantuan tunai bersyarat juga disalurkan melalui kantor cabang PT Pos Indonesia. Program ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, DKI Jakarta, Sulawesi Utara dan Gorontalo, karena memiliki relatif banyak penduduk miskin. Penerima bantuan tunai bersyarat merupakan rumah tangga miskin yang memiliki anggota keluarga terdiri dari anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/menyusui dan telah ditetapkan sebagai peserta PKH serta wajib mengikuti ketentuan yang berlaku dalam program tersebut. Nilai bantuan bervariasi bergantung pada kondisi keluarga dan diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan. Rinciannya, setiap rumah tangga mendapatkan bantuan tetap Rp200.000,/tahun, ditambah dengan bantuan pendidikan Rp400.000,-/tahun bagi yang memiliki 1 (satu) anak SD atau Rp800.000,-/tahun bagi yang memiliki 1(satu) anak SLTP. Tambahan Rp800.000,-/tahun juga diberikan bagi yang memiliki seorang ibu hamil atau anak balita, dengan harapan agar dana bisa dipergunakan oleh si ibu untuk memeriksa kehamilan dan kesehatan serta memenuhi kebutuhan gizi balita dan ibu hamil.

Pada tahun 2008, melalui Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Untuk Rumah Tangga Sasaran, sebagai kompensasi pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali diluncurkan program ini dengan alokasi sebesar Rp14.1 triliun. Program ini dilaksanakan dari bulan Juni s.d Desember 2008 (selama 7 bulan), dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat kepada Rumah Tangga Sasaran (unconditional cash transfer) sebesar Rp100.000,-/bulan, dengan rincian diberikan Rp300.000,-/3 bulan (Juni-Agustus) dan Rp400.000,-/4 bulan (September-Desember). Sasaran utama terdiri dari Keluarga Sangat Miskin dan Keluarga Miskin serta 5-7 juta PNS/TNI/Polri (golongan I dan II).

Pada tahun 2009, Pemerintah kembali menggulirkan program pemberian Bantuan Langsung Tunai Plus kepada rumah tangga sasaran melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Untuk Rumah Tangga Sasaran Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan.

4.      Pembahasan

Bantuan langsung yang di peruntukkan bagi warga miskin tersebut banyak yang menyimpang dari tujuan sebenarnya. Bantuan langsung tunai, demikain istilah yang di berikan oleh pemerintah atas dana berupa uang tunai ratusan ribu rupiah yang si salurkan kepada warga miskin di Indonesia, ala hasil warga yang mendengar informasi tersebut sontak merasa tergiur dan berupaya untuk mencari tau syarat-syarat untuk mendapatkannya. Begitu petugas pendata mulai menjalankan tugasnya untuk mendata warga yang layak mendapatkan bantuan langsung tunai, warga yang di datangi petugaspun terang-terangan mengklaim keluarganya adalah keluarga miskin bahkan sangat miskin, ditanya seputar harta benda milik warga yang sudah tergolong cukup lengkap, dengan suara sedikit lesu, warga menepis dengan banyak alasan “Oh itu kulkas kiriman anak saya dulu sebelum di phk, oh itu sepeda motor hasil kredit bapak sebelum bangkrut”, “oh itu sapi dan kerbau milik famili, kita hanya di upah untuk menjaganya” dll. Memberi keterangan seraya memohon untuk di masukkan dalam daftar dengan berbagai alasan tanpa menghiraukan tetanggapun dilakukan hanya untuk mendapatkan bantuan langsung tunai tersebut. Petugas pendata yang dengan mudah percaya atas keterangan wargapun mendaftarkan warga tersebut, hal yang tidak beda di utarakan oleh warga lain kepada petugas pendata, belum lagi petugas pendata sudah punya jatah sanak famili untuk di masukan dalam daftar penerima BLT, akhirnya jumlah daftar penerima BLT yang di usulkanpun terpenuhi sudah sementara warga yang kondisi ekonominya layak di mendapat bantuan bahkan cukup memprihatinkan akhirnya tidak mendapat kesempatan. Penomena ini menjadi sebuah tradisi musiman atau tradisi menjelang bantuan langsung tunai akan di salurkan. Dengan hal-hal yang merugikan ini bantuan langsung tunai tidak akan sampai ke tangan-tangan yang memang seharusnya. Kurangnya rasa peduli sesama membuat jumlah angka kemiskinan makin sulit dihadapi pemerintah, dalam hal ini kerjasama dari masyrakat sendiri sangat dibutuhkan. Kata kejujuran juga sangatlah langka di negara yang penuh liku-liku masalah ini. Hampir segala cara dihalalkan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Pemerintah sangat dilibatkan dalam hal ini untuk meningkat keamanan dan ketertiban dari panitia pembagian BLT sendiri. Dari bagian pendataan misalnya, harus ditempatkan orang-orang jujur, berbangsa dan tegas sehingga dapat mengoptimalkan pendataan BLT yang dapat sangat membantu pemerataan hak BLT bagi orang-orang yang kurang mampu. Tidaklah mudah hidup di bawah garis kemiskinan ditambah lagi dengan kecurangan dalam pembagian bantuan, sepertinya oknum-oknum pemerintah kurang mengerti dan memahami kata-kata jeritan masyrakat miskin itu. Kurangnya perhatian atas pengawasan adalah gambaran nyata akan bukti yang tidak bisa disembunyikan lagi. Membalikkan gugatan kesadaran kepada masyrakat kembali kepada pemerintahan.

Kurang lebih satu tahun masyarakat yang disebut miskin menerima bantuan langsung tunai berupa uang tunai dengan nilai ratusan ribu rupiah per KK, sementara efek naiknya bahan bakar minyak, berlangsung cukup lama, karena dampak dari naiknya harga bahan bakar minyak akan di ikuti dengan naiknya harga kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya sehingga mau tidak mau, warga terpaksa akan mengalami kesulitan untuk menghadapi perobahan harga dalam menyesuaikan kemampuan masing-masing untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jauh sebelum harga bahan bakar minyak di naikkan, kenyataan pahit sudah sekian lama melanda sebagian besar warga Indonesia di berbagai daerah, sebut saja salah satu daerah di Pulau Samosir, agar dapat pulang lebih cepat dari sekolah yang sangat jauh dari kampung, para pelajar harus rela duduk ber desak-desakan bahkan nekat diatas sebuah bus tua yang melintas di atas jalan penuh lobang dan berjurang, belum lagi jembatan penghubung yang di lalui cukup beresiko tinggi karena hanya di jembatani oleh empat batang pohon kelapa yang terbentang. Terlambat sedikit, maka jalan kaki dengan jarak puluhan kilo meterpun terpaksa ditempuh para pelajar karena bus yang diandalkan masih cukup langka, kalaupun ada, pasti enggan karena kondisi jalan yang sangat menantang. Pemandangan lain yang tak kalah memprihatinkan di tengah tengah warga yang tinggal di pelosok nusantara juga marak di temukan, yaitu sulitnya memperoleh air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, tidak sedikit warga yang tinggal di pelosok nusantara harus menempuh jarak yang cukup jauh ke sungai maupun danau guna mendapatkan air bersih, bahkan saking jauhnya, mereka rela mengkonsumsi air yang belum tentu layak untuk di konsumsi. Potret buram sebagian besar warga miskin di tanah air Indonesia ini tak serta merta dapat di tuntaskan oleh pemerintah melalui pemberian bantuan langsung tunai. Banyaknya tikus-tikus korup yang menggerogoti nilai-nilai keadilan di tanah air menjadi faktor paling sulit di basmi, tubu NKRI yang di gerogoti para koruptor sudah cukup mendarah daging mulai dari pusat hingga pemerintahan paling bawah. Tidak pandang bulu, segala kesempatan pun selalu di manfaatkan bahkan raskin atau beras yang di peruntukkan untuk rakyat miskin pun turut di libas habis tikus berdasi. Wajar, jika penolakan atas kebijakan pemerintah yang berencana menaikan harga bahan bakar minyak mendapat banyak kecaman dari berbagai elemen masyarakat di penjuru nusantara. Karena tanpa kenaikan ini pun kenyataan pahit banyak diderita oleh masyrakat di daerah-daerah. UUD menyebutkan orang miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara, namun nyatanya jauh dari kenyataan.

Seperti yang dikatakan Anggota Komisi VII DPR RI, Muhammad Idris Lutfi, pemberian kompensasi kenaikan BBM dengan adanya bantuan langsung tunai (BLT) dan sejenisnya, dinilai tidak akan menyelesaikan masalah dan justru menambah permasalahan baru. "Kenaikan BBM itu hanya akan menambah jumlah rakyat yang masuk dalam kategori miskin dan mereka yang masuk kategori miskin akan jatuh pada kategori sangat miskin," katanya. Dalam pandangannya, kebijakan kenaikan BBM hanya jalan pintas yang diambil pemerintah dari sekian banyak pilihan kebijakan. Terlebih lagi survei terbaru yang dilaksanakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan penolakan terhadap kebijakan BBM sangat besar mencapai 86,6 persen. "Ini angka yang cukup besar atas penolakan suatu kebijakan. Pemerintah harus berani cari solusi lain, jangan hanya berpikir jalan pintas," ungkapnya. Idris menambahkan, dengan 40 persen keluarga Indonesia berpenghasilan di bawah rata-rata dan 20 persen merupakan golongan yang rentan terhadap kemiskinan, maka jika BBM naik hanya 18,5 juta Kepala Keluarga (KK) atau 74 juta jiwa saja yang dapat BLT. Jumlah itu hanya sekitar 30 persen dari mereka yang berpenghasilan di bawah rata-rata. "Lalu bagaimana dengan 10 persen lagi masyarakat Indonesia yang berpenghasilan di bawah rata-rata dan 20 persen (12,4juta) masyarakat yang rentan terhadap kemiskinan. Pasti mereka semakin terpuruk," tambahnya. Karena itu, lanjut Idris, jika pemerintah serius menggunakan BLT sebagai kompensasi atas kenaikan BBM, maka berdasarkan data di atas, jumlah yang mendapatkan BLT seharusnya mencapai 40 persen masyarakat Indonesia, atau sekitar 24, 7 juta KK, dengan nominal rupiahnya mencapai Rp33,3 triliun untuk BLT sebesar Rp150.000 selama 9 bulan. Jumlah ini ditambah BLT untuk golongan rentan dengan jumlah Rp11,16 triliun untuk BLT sebesar Rp.100.000 selama 9 bulan. "Totalnya mencapai Rp44,46 triliun. Artinya, jumlah ini tidak telampau jauh dengan penghematan APBN dari kenaikan BBM yang dicanangkan pemerintah sebesar Rp51 triliun," ujarnya. Karena itu, tambahnya, pemerintah harus cari jalan lain karena kompensasi BLT yang dihitung pemerintah masih jauh dari sasaran. Hal lain yang juga menguatkan penolakan Idris terkait kenaikan BBM, adalah janji pemerintah yang tidak kunjung terealisasi untuk membangun infrastruktur sebagai kompensasi kenaikan BBM. Padahal, infrastruktur berperan penting dalam menciptakan sistem transportasi massal yang murah dan nyaman bagi masyarakat sehingga konsumsi BBM bisa dihemat. "Selama 7 tahun saya di DPR, pemerintah selalu berdalih bahwa kenaikan BBM akan dikompensasi dengan perbaikan dan pembangunan infrastruktur. Nyatanya jauh panggang dari api. Padahal, infrastruktur berperan penting dalam pembangunan transportasi umum yang nyaman sehingga masyarakat beralih dari mobil pribadi ke transportasi umum dan bisa menghemat konsumsi BBM," jelasnya.Menurut Idris, kebijakan kenaikan BBM tahun ini adalah bukti bahwa pemerintah gagal membangun infrastruktur dan transportasi publik yang nyaman dan menarik masyarakat.
Pembagiannya yang mendekati masa pemilu, membuat orang berasumsi ada kepentingan di balik pembagian BLT. Kebijakan pembagian BLT adalah sebuah bentuk kompensasi dari penaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Banyak yang kurang setuju atas kebijakan itu karena memang kurang mendidik. Sisi positifnya mungkin bisa membantu masyarakat miskin tapi sifatnya hanya tentatif. Tapi yang patut dikhawatirkan adalah dampak negatif BLT terhadap prilaku dan karakter masyarakat. Bila dicermati, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini masih melihat akar penyebab kemiskinan akibat faktor kurangnya modal. Ada banyak alasan yang bisa menjadi penyebab tidak efektifnya program BLT. Salah satunya, adalah nominal BLT yang terlalu seragam. Padahal tiap daerah kondisi perekonomiannya berbeda. Program pemerintah memberi bantuan berupa BLT bukan mengurangi kemiskinan secara struktural. Kebijakan ini masih jauh dari kesan promasyarakat. Terkesan BLT keputusan politik yang berorientasi untuk memertahankan citra pemerintah seolah-olah pro masyarakat. Soal bantuan ke masyrakat miskin ini seharusnya belajar dari pepatah lama. Ada pun akar penyebab kemiskinan tidak sekadar terkait dengan masalah modal dan bantuan material. Ada masalah lain di luar urusan modal dan bantuan material. Ibaratnya, yang selalu diberikan kepada warga adalah pelampung untuk berenang, bukan keterampilan untuk berenang. Akibatnya, ketika air meluap, warga yang tak punya keterampilan untuk berenang dipastikan tenggelam bersama luapan air. Sangat riskan, masyarakat menjadi manja. Kita tentu tidak ingin menjadi bangsa peminta-minta, yang hanya menadahkan tangan berharap uang mengucur dari langit. BLT juga bisa tidak efektif dan tepat sasaran. Sejak di bangku sekolah dasar kita diajarkan jangan memberi ikan, tapi kailnya. Pepatah ini mengajarkan pentingnya sebuah usaha dan jerih payah. Mengapa pemerintah kita justru membuat program BLT, seperti memberikan ikan bukan pancing. Karena terlalu sering akhirnya mental masyrakat pun jadi rusak. Masyarakat diajarkan menjadi pemalas. Sebagaimana rusaknya mental masyarakat Aborigin di Asutralia akibat pemerintah meluncurkan welfare programs yang mirip BLT. Mengakibatkan suku Aborigin merasa kehilangan peran. Terjadi tingkah laku sosial destruktif, seperti kekerasan dalam keluarga, alkohol, narkoba bahkan sampai membunuh dan bunuh diri. Kaum lelaki Aborigin kehilangan peran sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Mereka merasa tak perlu lagi berburu di hutan dan bekerja di kebun. Tiap bulan pasti ada dana bantuan sosial dari pemerintah bagi keluarga miskin. Program semacam itu merusak mental dan semangat kerja suku Aborigin. Para suami miskin menganggap kehidupan sosial tetap berjalan sekalipun mereka mati. Sebaliknnya, anak-anak berpikir ayahnya tak berguna. Mereka bahkan menjadi malu karena ayahnya penganggur, hidup hanya dari dana kompensasi pemerintah. Padahal suku Aborigin sebelum emigram kulit putih tiba di Australia adalah kesatria yang tangguh, pantang menyerah, menguasai alamnya, pandai berburu untuk menghidupi keluarganya. Usia mereka pun panjang mencapai 70 sampai 80 tahun. Mari kita belajar dari program tak mendidik itu.
5.      Penutup
Sudah terbukti, bahwasanya BLT bukanlah pemecahan yang tepat untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Banyak kekurangan dalam program ini, bahkan kegagalan tercapainya kebaikan target pun tak terlaksana. Pemerintah harus segara menghentikan program BLT ini atau mengubah sistem BLT ini menjadi sistem yang membangun bukan sebuah sistem yang terus memasok perekonomian rakyat sehingga mematikan sistem ekonomi yang berjalan di keluarga tersebut. Lagipula pembagian BLT yang merata tidaklah suatu hal yang benar karena perekonomian setiap daerah itu berbeda. Dari apa yang saya baca pula, BLT menjadi ajang pemerintah mencari nama sehingga BLT baru dikeluarkan menjelang pemilu. Seharusnya pemerintah tidak mempermainkan program BLT ini. Pemerintah harus bisa beralih ke cara-cara lain yang bersifat membangun selamanya, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi melainkan langsung memberikan manfaatnya kepada masyarakat. Masih banyak cara untuk mengurangi jumlah rakyat miskin selain dengan cara BLT. Misalnya, dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia secara optimal. Seperti yang saya lihat selama ini pemerintah belum memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Indonesia ini secara optimal. Padahal Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan flora dan fauna, yang bila dikelola dengan baik dan benar akan menjadikan ladang ekonomi yang sangat besar. Dengan cara menempatkan beberapa ahli di setiap daerah yang mempunyai peluang besar untuk membuka usaha dari mengelola sumber daya alam yang ada, maka setiap daerah bisa membangun usaha sendiri. Tanpa bersandar dan tergantung pada pemerintah lagi, mereka akan mandiri untuk menjalankan pembangunan ekonomi di daerahnya. Dan tanpa perantara yang banyak, maka resiko untuk mengkorupsi hasil keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut sangatlah kecil. Bila hal ini terlaksana dengan baik maka banyak keuntungan yang dapat diambil darinya, contohnya  Masyarakat tidak akan bergantung pada pemerintah lagi, jumlah ledakan kemiskinan bisa teratasi, pemasukan negara bisa bertambah, penghematan biaya negara bisa berjalan dengan baik dan yang paling baik adalah pembangunan ekonomi dapat merata di setiap daerah berjalan setara dengan keadaan ekonomi yang ada di daerah tersebut menyebabkan kesejahteraan rakyat ada pada posisi yang seharusnya.


Sumber :